Istri Kedua 
" Ma. .. Ma… " teriak anaku dila sepulang sekolah. 
" iyaaa nak, mama lagi ada di dapur, taruh sepatunya di rak yah!  "jawabku. Dila menemuiku di dapur. Aku sedang mengiris bawang. 
" mama nangis? "Tanya Dila begitu mendekati ku. 
" engga nak, ibu lagi mengiris bawang ", jawabku. 
" oohh… " mulut kecilnya membulat. 
" Dila, kamu makan dulu yah! Km pasti laper habis pulang sekolah ", ujarku. Anak perempuan berusia 7 tahun itu hanya mengangguk, kemudian duduk di meja makan. 
" Ma… tadi matematika Dila dapet nilai 100" ujar Dila. 
" wahhh… hebat anak mama! Mau di beliin apa? " Tanyaku sambil mencoel dagunya. 
" dila ga minta apa - apa ma. Dila hanya ingin mama dan papa bisa kumpul kembali " ujar Dila lirih. Aku hanya menjerit dalam hati, mataku nanar menangis. Hal tersebut merupakan hal yang sulit terwujud. Sejak perceraian kami 5 tahun lalu. Ayah dila pergi meninggalkan rumah dan tak pernah menanyakan kabar kami. 

    Aku menghidupi Dila seorang diri, menjadi single parent itu tidak mudah. Aku harus menjadi seorang ibu sekaligus seorang ayah. Penghasilanku ku dapati dari menjahit. Dulu, aku adalah seorang karyawan perbankan, hanya karena aku memiliki dila, aku ingin mencurahkan perhatianku sebagai seorang ibu. Aku bertahan walau berat. 
     Jujur aku adalah istri kedua. Suamiku melakukan poligami karena menginginkan anak perempuan. Suamiku memiliki 4 anak lelaki dari istri pertamanya. Alhamdulillah dariku lahir seorang anak perempuan. Poligami memang tidak mudah, suamiku tidak mampu berbuat adil,hingga kami bercerai.

      Ketika sedang menemani dila makan, aku mendengar suara orang - orang berlarian. Ada apa? Gumamku. 
" tunggu sebentar yah, mama liat keluar dulu "ujarku pada Dila. Anak itu hanya menganggukan kepalanya sambil menyuapi mulutnya dengan makanan. 
Aku melihat kerumunan warga di lapangan, karena kebetulan rumahku berhadapan langsung dengan lapangan tennis. 
Aku  berusaha menerobos kerumunan warga tersebut. Aku mendapati seorang ibu yang usianya tidak jauh berbeda denganku sedang pingsan, aku nanar menangis. Ibu itu rupanya sakit stroke. 
"to.. To… tolong saya",  ujar ibu tersebut ketika telah siuman dengan suara pelo layaknya orang stroke. Tangannya melambai - lambai meminta bantuan. Aku mendekatinya. 
"I… ibu kenapa? Mari ikut dengan saya saja" ujarku " pak, tolong bantu antar ke rumah saya yah", sambungku lagi meminta tolong pada warga. Warga pun membopong ibu tersebut menuju rumahku. 
" masuk ke kamar anak saya saja pak… ", perintahku kepada bapak - bapak yang membopong ibu tersebut. 

    " bu… ini teh manis nya ", ujarku sambil meletakan gelas teh manis di meja belajar Dila."  selama belum pulih, saya rawat ibu di sini ", sambungku lagi. Ibu itu menitikan air mata. 
"  Kamu… Kamu… Ida kan? "Tanyanya
" kok ibu tahu namaku?, tanyaku keheranan. 
" Kamu adalah maduku "
Aku terbelalak kaget, jadi ibu yang dihadapan aku ini adalah istri pertama dari suamiku. Kenapa bisa dia tadi pingsan? Sejuta tanya merasuki rongga fikiranku, karena melihat kondisinya yang sedang sakit stroke. Kenapa dibiarkan seorang diri?

"  nama ibu siapa? ",  ku mencoba memberanikan diri bertanya, 
Aku Rani, suami kita adalah mas Hadi, tapi dia sudah menikah lagi dan saya dibuang di pinggir jalan" ujarnya sambil terisak " boleh ku minta kertas dan pulpen?" sambungnya kemudian. 
Aku segera mengambil pulpen dan kertas lalu segera memberikan pada Rani. Rani kemudian menulis sesuatu.. Aku meninggalkan Rani yang sedang menulis, segera ku temui Dila yang sedang mengerjakan PR di ruangan tengah. 
" mama menangis lagi? "Tanya Dila begitu aku mendekatinya, aku hanya menggeleng sambil membelai rambutnya. Air mata ini semakin deras kurasa. Dila memeluku, aku menciumi anak itu. Betapa aku menyayanginya, dan rasa penyesalan itu merasukiku, kenapa aku harus mengenal sosok mas Hadi? Hingga Dila harus memiliki ayah yang tidak bertanggung jawab. Ah, andai saja… 

Aku mengepalkan tanganku, aku kesal pada diri sendiri. Oia, Rani pasti sudah selesai menulisnya " sebentar yah sayang, mama lihat tante Rani dulu". Ku tinggalkan Dila lalu segera menemui Rani. Rani tampaknya telah selesai menulis sesuatu, dia memberikan secarik kertas 

Maafkan aku ida, kita adalah Korban. Mas Hadi telah menikah lagi, dan aku dibuang ke hutan, untungnya ada supir truk yang sedang mengangkut kayu dari hutan. Aku diberi tumpangan menuju ke kota, tapi aku tidak mau pulang ke rumah. Aku menyusuri jalan hingga sampai di sini, aku pusing kemudian tadi pingsan

Aku melipat kertas tersebut kemudian menatap Rani dengan iba. " gapapa, sementara kamu tinggal di sini saja yah, besok kita ke dokter",  ujarku sambil memegang tangan Rani. Usiaku dan Rani tidak terpaut jauh, oleh sebab itu aku memanggil dia nama tanpa embel - embel kakak atau mbak. 

Pagi hari seperti biasa aku sibuk menyiapkan sarapan untuk Dila, kali ini berbeda, ada Rani. 
" ayo Rani,,, sarapan dulu ",  ajaku sambil menyerahkan baki makanan berisi roti dan susu ."...habis ini kita ke rumah sakit yah" , sambungku lagi. Rani mengangguk tanda mengiyakan sambil menerima nampan dariku. 

" Ma… Dila berangkat sekolah dulu yah… " ujar Dila, sambil menyalamiku. 
"  Iya sayang " jawabku sambil membelai rambutnya Dila,"  salim dulu ke tante Rani! "sambungku lagi. 

Dila sudah berangkat sekolah, aku bersiap untuk mengantar Rani ke rumah sakit. Aku merapikan hijabku, dengan polesan lipsticks tipis. Rupanya Rani pun telah bersiap. Aku ambil kunci mobilku dan segera memanaskan mesin nya. 
"... Tunggu sebentar yah!  Manasin dulu mobil " ujarku pada Rani. Sambil menunggu mobil dipanaskan aku dandani Rani, karena rupanya hijab dan bajunya masih acak - acakan. 
"  Nahhhh… udah selesai, kamu cantik! " ujarku sambil memperlihatkan Rani ke cermin. Rani hanya tersenyum kecil. 

15 menit berlalu, aku fikir cukup untuk memanaskan mobilku. Aku tuntun Rani menuju mobil . Aku kendarai mobilku menuju ke rumah sakit. 

"  ini bukan stroke tapi ini toksoplasma menyerang otak sehingga mengakibatkan seperti stroke… " ujar dokter Ronald yang juga dokter saraf di rumah sakit ini. 
"  toksoplasma itu penyebabnya apa dok?  "Tanyaku. 
"  itu infeksi virus "
"  virus apa dok? "
"  virus tokso biasanya menyerang orang - orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh rendah, seperti wanita hamil, penderita kanker  atau… " dokter Ronald tampak menghela nafas 
"  atau apa dok? " cecarku penuh ketidak sabaran.
"  Atau penderita HIV " ujar dokter Ronald dengan berat hati untuk mengatakannya. Aku ternganga kaget, segera ku peluk Rani. Air mata mulai membasahi pipi. 
" ini pasti ulah mas Hadi " ujarku  Rani pun memeluku erat, air matanya membasahi hijabku. 
"  HIV menular melalui hubungan sex, jarum suntik sesama pemakai narkoba, ibu hamil ke janinnya. " ujar dokter Ronald memberikan penjelasan panjang lebar begitu melihat kami sudah tampak tenang. 
"  Suami kami pelaku poligami Dok, apa mungkin dia berganti - ganti pasangan di luar sana? " tanyaku lagi. 
"  Bisa jadi… jadi suami kalian sama? ", tanya dokter Ronald. 
"  saya istri kedua dok, tapi sudah bercerai dan ini maduku, Rani, istri pertama dari suamiku ". Jawabku. Dokter Ronald hanya bisa menggeleng kepala. 
"... Tapi Rani bisa sembuh dok?"  Tanyaku. 
" untuk sementara Rani dirawat di rumah sakit dulu, silahkan melakukan reservasi kamar "tutur Dokter Ronald sambil menghela nafas, tidak menjelaskan apa - apa lagi dan kami segera keluar dari ruangan dokter Ronald.

Sepanjang lorong rumah sakit, aku terus menangis. Rani berusaha menenangkanku, harusnya dia yang rapuh, tapi Rani tampak begitu tegar. 
" ini pasti ulah mas Hadi, kamu tertular dari mas Hadi " ujarku sambil terisak lalu memeluk Rani. Kami terus menangis dan berpelukan, seakan aku tidak mau kehilangan Rani. 

Aku segera membawa Rani ke ruang rawat inap, berkali - kali Rani mengucapkan terima kasih. 
" Aku hubungi mas Hadi yah?! " usulku pada Rani. Rani hanya tersenyum mengangguk. Aku hubungi mas Hadi melalui ponselku 
Suara nada sambung berbunyi tapi belum ada tanda diangkat. 
"  asalamualaikum, sayang"!,  sahut suara di seberang sana. 
" Mas… ini aku Ida ",  jawabku 
"  Oh,  aku fikir Dila. Ada apa? ",  ujar mas Hadi. 
"  mba Rani, Rani masuk rumah sakit… ", 
"  apa? Kok bisa? " Tanyanya 
"  Nanti aku jelasin, mas kesini dulu aja, " jawabku. 
"  mas… mas… ". Terdengar suara manja seorang perempuan di seberang sana , jujur aku merasa mual. 
"  Ya sudah mas, asalamualaikum ", segera ku tutup handphonenya. Ku lirik Rani yang sedang tergolek lemah di ruangan rawat inap. 
"  Ran, aku pulang dulu yah, Liat dulu Dila, takutnya sudah pulang sekolah. " ujarku sambil memegang tangan Rani. Rani hanya tersenyum mengangguk, jujur aku tidak tega membiarkan dia seorang diri, tapi aku punya tanggung jawab untuk anakku, Dila. Aku segera pergi dari rumah sakit menuju ke rumahku. 

Dan benar saja, Dila sudah menungguku di teras rumah. Dia masih berseragam lengkap. 
" Mama dari mana saja? ",  teriak Dila, begitu aku turun dari mobil. 
"  tante Rani masuk rumah sakit, sayang " ujarku sambil membelai rambutnya.
" kenapa ma…? " Tanya Dila lagi. 
"  dia sakit parah… ",  jawabku" yo, masuk dulu. Kita makan dulu yah, kamu pasti laper… " ajaku. 
"  ayo,  ganti baju dulu. Sini, mama bantu… ", ujarku sambil membuka kancing seragam Dila. 
"  Ma,  Dila cuman dapet nilai 75  hari ini ", ujar Dila lirih. 
"  tidak apa - apa, sayang. Mama akan selalu bangga sama Kamu, nak", ujarku sambil menyiapkan piring dan gelas di atas meja makan. " Dilaaaa… sini  ayo makan dulu", teriaku memanggil dila yang masih di dalam kamar. Aku membeli beberapa makanan dari rumah sakit. Hari ini aku tidak masak karena tadi sibuk mengurus Rani. 
" makan yang banyak yah sayang, sebentar lagi mama akan ke rumah sakit lagi" ujarku. 
" Dila boleh ikut ga ma? "
" boleh… ". Jawabku sambil tersenyum. Dila makan lahap sekali.  Tiba - tiba suara handphone berbunyi. Oh, rupanya mas Hadi. Entah kenapa, ada perasaan jijik dan benci sekali. 
"  Dari siapa ma?  Kok ga diangkat? ",  tanya Dila. Aku tersenyum masam ."  Ahhhh Eh, dari papa ", jawabku. 
"  Ahhhh papa,  biar Dila yang angkat! "teriak Dila sangat bersemangat. Aku memberikan handphone itu pada Dila. 
"  Halo, papa! " 
Jawab Dila begitu Handphone itu di terima nya.  Dila tampak asyik ngobrol dengan papanya. Aku membereskan piring dan gelas kotor, lalu mencucinya. Pekerjaan dapur beres, tinggal ku siapkan beberapa potong pakaian untuk Rani. Dila masih asyik ngobrol dengan papanya, sementara aku masih di kamar merapikan pakaian ke dalam tas. 


" Ma… papa mau dateng bawa Dila coklat!! ", teriak anak itu kegirangan., sambil berlari ke dalam kamar untuk memberikan handphonenya padaku. Aku hanya tersenyum. Ah, anak itu memang tidak tahu apa - apa. 
"  Dila, mau ikut ke rumah sakit? " tanyaku, dia mengangguk."  yu, ganti baju dulu ". Ajakku. 
"  Dila mau ketemu sama papa dimana?,  tanyaku sambil memakaikan pakaian pada Dila. 
" papa nanti ke rumah sakit ma… tante Rani itu adiknya papa kan? " Tanya Dila polos. Aku tidak berani menatap wajah Dila. Ada rasa sakit bila harus menjelaskan semuanya pada anak itu. Tunggu yah nak, belum saatnya, jeritku dalam hati. 

Aku dan Dila menuju ke rumah sakit. Aku parkir mobilku di tempat yang nyaman. Aku dan Dila berjalan menuju ruang rawat inap, tempat Rani dirawat. Rani tergolek lemah dengan selang infusan melingkarinya. 
" tante Rani,,, " ujar Dila lirih sambil terisak. Rani menoleh lemah. 
"  anak manis, kamu ikut mama? " Tanya Rani pada Dila. 
"  Tante harus sembuh ya, supaya bisa kumpul lagi sama aku… " 
Rani hanya tersenyum kecil. 
".... Sebentar lagi papa datang, tante harus kuat",  celoteh Dila. Rani mengernyitkan kening. 
", papa siapa? " Tanya Rani. Aku yang mendengar Percakapan itu segera menempati."  Mas Hadi nanti kesini Ran", ujarku sambil tersenyum. Rani hanya tersenyum kecil saja. 
" Aku benci lelaki itu, aku benciiiii… " teriak Rani. Aku berusaha menenangkan Rani. 
"  Dila… sayang, tunggu di luar ya nak. " ajakku sambil memapah Dila menuju ke luar kamar. Pemandangan di luar kamar sangat asri, ada kursi taman dan beberapa bunga Rose yang mulai bermekaran. Angin sepoy - sepoy membelai hijab dan hatiku. 
"  Dila duduk di sini dulu yah nak! " usulku pada Dila, sambil mendudukan Dila di kursi taman. 
"  Ma,  Dila mau es krim ",  ujar Dila. 
"  Disini ga ada yang jualan eskrim" jawabku. 
", tadi di depan ada kok ma", 
" Oh ya udah, nanti pulang dari sini kita beli es krim  dulu " ujarku 
"  papa… papa!!! " tiba - tiba Dila berteriak kegirangan pada lelaki yang mendekati kami di taman. Ah, rupanya mas Hadi. 
"  yeee janji papa untuk ngasih coklat akhirnya terpenuhi" teriak Dila kegirangan begitu menerima coklat pemberian mas Hadi. Aku tidak ingin mengganggu kebersamaan mereka.  Aku tinggalkan mereka menuju kamar Rani tapi ada perempuan asing sedang menyuapi Rani dengan kue. Siapakah dia? 
,  eh Ida sini masuk… " ajak Rani begitu melihatku mematung di depan pintu kamar. Perempuan itu tersenyum ke arahku. 
"  saya Nina,  istri mas Hadi. ",  perempuan itu menjulurkan tangannya. Dengan ragu aku balas uluran tangan itu. Nina sangat cantik, masih muda. Kenapa mau dengan mas Hadi?  Sejuta tanya dalam hatiku. 

" ida…. Bisa bicara sebentar?! " ujar mas Hadi, tiba - tiba sudah berada di kamar ini. Aku mengangguk, ku ikuti langkah mas Hadi menuju kursi taman. Dila sedang duduk di taman sambil makan coklat kesukaan nya. 
"  jahat kamu Mas! Kamu buang Rani, kamu terlantarkan Dila. Kamu nikahi Nina. Lelaki 
macam apa kamu!!!! "
"  Dimana kamu menemukan Rani? " Tanya mas Hadi. 
"  di lapangan depan rumah ",  jawabku singkat. 
"  maaf,  aku terpaksa melakukan itu… ",  ujar mas Hadi sambil tertunduk. 
"  maaf?!  Maaf?! Maaf kata mu??? Dimana hati nuranimu mas? ",  tanpa sadar, aku berteriak karena emosi. 
"  Mas tahu,  Rani sakit apa? " tanyaku. Mas Hadi hanya menggeleng. 
"  dia… dia… HIV mas! ",  teriaku emosi,"... Dan ini semua pelakunya adalah Kamu!!!"  sambungku kemudian. Mas Hadi terkejut mendengar penjelasanku. Wajahnya pucat pasi.

" Ma… ma… " teriak Dila berlari ke arahku. Aku tidak bisa membendung air mata ini. 
"  mama menangis lagi? "Tanyanya. 
"  engga nak, mama cuman kelilipan " ujarku sambil terisak lalu memeluk Dila. Aku memapah anak itu menuju kursi taman. 
"  duduk sini, sayang " ujarku. Aku berusaha menenangkan diriku duduk bersama Dila di kursi taman.  Pandanganku tertuju pada Nina yang sedang berjalan menuju mas Hadi mereka tampak mengobrol sebentar, lalu mas Hadi berjalan ke arahku. Aku berpura - pura tidak melihatnya. Aku ambil androidku, untuk menyibukan diriku. * 
"  Ida, aku pulang dulu yah… " ujar mas Hadi. Tak ku hiraukan dia, dia aku seolah-olah sibuk dengan androidku. 
Ku lirik Nina yang tersenyum ke arahku dan berjalan mengekori mas Hadi. 
"  Dila, papa pulang dulu yah sayang. Jaga diri baik - baik " ujar mas Hadi pada Dila. 
"  papa, kapan kita ketemu lagi?  Aku ingin papa. Temen - temen ku semua memiliki papa, cuman aku aja yang engga ",  rengek Dila manja, seolah-olah tidak mau kehilangan sosok papanya. Aku berusaha menenangkan Dila. Ku peluk Dila, lalu aku dan Dila melihat mas Hadi dan Nina berjalan pulang, ada sakit yang tak bisa dijelaskan. 
"  Ma,  tante itu siapa? ",  tanya Dila. Entah kenapa hati ini sakit ketika Dila menanyakan hal itu. Aku peluk Dila. Inginku menutup matanya agar tidak bisa melihat mas Hadi dan Nina. 

"  udah sore nih… kita temui dulu tante Rani yah?!  Habis ini kita pulang ke rumah…" ujarku pada Dila. Dila mengangguk, " tapi pulangnya beli es krim yah ma"  ujar Dila. Aku tersenyum sambil mengangguk dan kami pun berjalan menuju kamar Rani. 
" Ran, kita pulang dulu yah! " ujarku sambil merapikan tas. Tidak ada jawaban dari Rani. Penasaran, aku sentuh tangannya, dingin. Aku mengecek denyut nadinya tak juga berdetak, segera ku tekan tombol untuk memanggil suster. Selang beberapa menit suster datang ke kamar kami. Ada 3  orang suster yang memeriksa keadaan Rani. Suster satu tampak menganggukan kepalanya pada suster yang lain. Suster tersebut menutupi wajah Rani dengan selimut. 
" Ada apa ini sus? ", tanyaku kebingungan. 
"  maaf bu. Bu Rani sudah meninggal "ujar suster itu. Aku menangis sejadi -" jadinya. Aku peluk Dila. Dunia ini serasa berputar. Aku kehilangan keseimbanganku. 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nek! Kalau Nanti Aku Sembuh, Aku Berangkatkan Nenek Naik Haji

Panggil aku dinar 2

Dibalik Nama Dinar